22 April 2008

Membakar Kalimantan

Pada hari Senin, 21 April 2008 Greenpeace mengluarkan laporan yang bertajuk “Membakar Kalimantan”, Greenpeace membeberkan laporan baru yang menunjukkan titik-titik dimana para pemasok Unilever menghancurkan hutan gambut dan habitat orangutan demi menanam kelapa sawit, salah satu bahan penting dalam pembuatan merek sabun terkenal Unilever. Kerusakan hutan Indonesia terjadi lebih pesat dibandingkan negara pemilik hutan lainnya di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di muka bumi .

Lahan gambut yang dalam di kawasan ini ketika dikeringkan dan kemudian dibakar dalam proses mempersiapkan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah yang besar. Kawasan lahan gambut ini bertanggung jawab atas 4% dari jumlah emisi gas rumah kaca dunia .

Laporan ini juga menjelaskan bagaimana pertumbuhan sektor kelapa sawit memberikan dampak buruk terhadap keanekaragaman hayati. Jumlah populasi orangutan merosot drastis dan terancam kepunahan(3). Dengan memetakan kawasan yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan kunci yang menjadi pemasok perusahaan Unilever, laporan ini menjelaskan bagaimana perusahaan dengan hubungan langsung dengan Unilever saat ini membabat habitat orangutan yang tersisa. Laporan ini juga mencakup riset lapangan yang dilakukan oleh Greenpeace di bulan-bulan awal tahun 2008.

Greenpeace menyerukan Unilever agar secara terbuka mendeklarasikan penghentikan perluasan lahan kelapa sawit pada kawasan hutan dan lahan gambut serta berhenti berbisnis dengan pemasok yang terus merusak hutan hujan.

Greenpeace menyerukan pemerintah Indonesia untuk segera mendeklarasikan moratorium konversi lahan gambut dan hutan dengan kriteria minimum sebagai berikut:

1.Tidak ada perkebunan baru dalam kawasan hutan yang sudah dipetakan

2. Tidak ada perkebunan baru yang dibuka dengan cara merusak lahan gambut

3. Tidak ada perkebunan atau perluasan areal perkebunan pasca-November 2005 yang dihasilkan dari deforestasi atau merusak kawasan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest, HCVF).

4. Tidak ada perkebunan atau perluasan areal perkebunan pada kawasan masyarakat adat atau kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada hutan tanpa persetujuan mereka yang diambil tanpa tekanan (free prior informed consent, FPIC).

5. Menginformasikan secara terbuka rantai lacak pasokan serta sistem segregasi yang dapat menandai dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari kelompok yang gagal memenuhi kriteria di atas.

Tidak ada komentar: